Minggu, 07 Oktober 2012

Analisa Jurnal PSIKODIAGNOSTIK


“PENGARUH VISUAL STORYTELLING KOMIK ASING PADA KOMIK INDONESIA TERBITAN PT. ELEX MEDIA KOMPUTINDO TAHUN 2004-2008” (Yohan Alexander, Irfansyah)

            Ternyata komik memiliki definisi yang beragam. Will Eisner, komikus senior yang dianggap sebagai “Bapak Buku Komik” di Amerika, menyebut komik sebagai tatanan gambar dan kumpulan kata yang berurutan. Lain pula yang dikatakan oleh Scott McCloud, komikus terkenal dan penulis buku tentang dunia komik. Menurut McCloud, komik adalah gambar yang menyampaikan informasi atau menghasilkan respons estetik bagi orang yang melihatnya. Sementara menurut R.A. Kosasih, “Bapak Komik Indonesia”, komik adalah media atau alat untuk bercerita. Entah mana yang benar dari tiga pernyataan tadi. Yang jelas, definisi tentang komik hingga kini masih menyisakan tanda tanya, sama dengan pertanyaan tentang kapan sebenarnya komik pertama di dunia muncul.
            Bila komik didefinisikan sebagai rangkaian gambar yang berurutan, berarti komik telah menjadi bagian dari budaya manusia di seluruh dunia sejak zaman dahulu, bahkan sebelum manusia mengenal tulisan. Di Prancis Selatan, misalnya, para arkeolog menemukan gambar-gambar berwarna pada dinding Goa Lascaux yang diperkirakan sudah ada kurang lebih sejak 17.000 tahun lalu. Gambar hewan seperti bison, banteng, dan kerbau yang ada di dinding goa itu diduga menjadi media komunikasi bagi masyarakat yang hidup pada masa tersebut dan dianggap sebagai “komik” paling kuno di dunia
 Visual Storytelling
è Dalam setiap komik selalu mengandung Visual Storytelling, yaitu tampilan gambar pada komik yang disusun menurut alur jalan cerita dari komik itu sendiri, agar pembaca terbantu dalam menangkap makna dari cerita dalam komik tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Scott McCloud (2005) yang mengungkapkan bahwa visual storytelling pada akhirnya memiliki tujuan utama agar pembaca komik dapat mengerti dengan jelas cerita yang disampaikan dan juga mengajak pembaca untuk tetap mengikuti ceritanya.
           
            Visual storytelling pada komik menjadi beberapa rangkaian pengambilan keputusan, yaitu:
1.    Pemilihan Momen è berkaitan dengan bagaimana peralihan dari satu panel kepada panel lainnya.
2.    Pemilihan Frame è Menentukan dari sudut pandang apa gambar ditampilkan dan seberapa besar proporsi tokoh atau objek dengan latar belakangnya.
3.    Pemilihan Image (Citra yg Ditampilkan) è Menentukan bagaimana tokoh, objek, dan suasana tersebut ditampilkan.
4.    Pemilihan Kata
5.    Pemilihan Flow (Alur Panel)

            Pada tahun 1980-an, industri komik Indonesia mulai menurun dari segi kuantitas dan bersamaan dengan itu, komik terjemahan Eropa dan Amerika mulai terbit. Sejak saat itu, posisi industri komik dan para komikus lokal semakin terancam keberadaannya di negerinya sendiri.

            Kemudian tahun 2000-an muncullah usaha dari PT. Elex Media Komputindo, penerbit komik terjemahan dari Jepang, yang berupaya menerbitkan komik hasil kreasi komikus Indonesia. Namun sayangnya, komik yang terbit ternyata membawa pengaruh komik asing, terutama Jepang, yang begitu kuat. Tidak seperti komikus Indonesia tahun 1970-an yang dianggap memiliki karakteristik sendiri, komikus pada periode 1990-an dianggap tidak memiliki identitas karena meniru gaya komik yang populer pada saat itu yakni komik Jepang dan komik Amerika (Darmawan, 2005).

Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa   :
  Komik lokal terancam keberadaannya
  Komik terjemahan mendominasi produksi komik lokal di Indonesia
Komik lokal sekarang mulai terpengaruh karakter dari komik asing terutama komik Amerika, komik Jepang, dan komik Eropa pada saat komik Indonesia tengah mencari jati dirinya.

 

 
 Gambar diatas merupakan contoh modifikasi dari komik Indonesia yang mengalami ‘akulturasi’ dengan identitas dan gaya komik asing, dimana nama “Wayang” dalam komik tersebut tidak mewakili sama sekali dari gambar yang terpampang dalam sampulnya. Karena profil wayang yang dikenal masyarakat Indonesia adalah mewakili lambang keluarga pewayangan dari kisah mahabarata yang terkenal di daerah Jawa. Sedangkan gambar tersebut lebih mirip dengan figur heroik yang banyak terpampang pada tokoh komik-komik asing.

            Komik Indonesia yang terbit pada tahun 2000-an cenderung dipengaruhi komik Jepang namun lebih ekstrim dalam hal personalisasi karya atau lebih subjektif. Efeknya adalah membuat komik Indonesia cenderung memiliki pace lebih panjang namun menyederhanakan cerita karena dibatasi jumlah halaman.

            Adanya pengaruh komik Amerika dan komik Eropa dikarenakan karyanya pernah disukai atau dibaca juga oleh para komikus Indonesia. Pengaruh tersebut terlihat pada kecenderungan komikus Indonesia untuk berusaha memberi kesan ilustrasi yang relatif ekspresif walaupun tidak ada relevansinya dengan cerita. Selain itu, dilihat dari garis besar perkembangan komik Indonesia, dengan diadopsinya gaya komik Jepang, menggambarkan putusnya hubungan antara komik Indonesia tahun 1960-1970-an dengan komik Indonesia kontemporer.

            Karena itu rasanya harus mulai digalakkan kembali kreatifitas anak bangsa dengan ide ide cemerlangnya dalam kaitannya dengan pelestarian kemurnian budaya sendiri, serta bagaimana upaya meningkatkan kualitas hasil kreatifitas itu sendiri. Kalau tidak dimulai dari saat ini, kapan lagi????


Analisa Jurnal PSIKODIAGNOSTIK


“PENGARUH VISUAL STORYTELLING KOMIK ASING PADA KOMIK INDONESIA TERBITAN PT. ELEX MEDIA KOMPUTINDO TAHUN 2004-2008” (Yohan Alexander, Irfansyah)

            Ternyata komik memiliki definisi yang beragam. Will Eisner, komikus senior yang dianggap sebagai “Bapak Buku Komik” di Amerika, menyebut komik sebagai tatanan gambar dan kumpulan kata yang berurutan. Lain pula yang dikatakan oleh Scott McCloud, komikus terkenal dan penulis buku tentang dunia komik. Menurut McCloud, komik adalah gambar yang menyampaikan informasi atau menghasilkan respons estetik bagi orang yang melihatnya. Sementara menurut R.A. Kosasih, “Bapak Komik Indonesia”, komik adalah media atau alat untuk bercerita. Entah mana yang benar dari tiga pernyataan tadi. Yang jelas, definisi tentang komik hingga kini masih menyisakan tanda tanya, sama dengan pertanyaan tentang kapan sebenarnya komik pertama di dunia muncul.
            Bila komik didefinisikan sebagai rangkaian gambar yang berurutan, berarti komik telah menjadi bagian dari budaya manusia di seluruh dunia sejak zaman dahulu, bahkan sebelum manusia mengenal tulisan. Di Prancis Selatan, misalnya, para arkeolog menemukan gambar-gambar berwarna pada dinding Goa Lascaux yang diperkirakan sudah ada kurang lebih sejak 17.000 tahun lalu. Gambar hewan seperti bison, banteng, dan kerbau yang ada di dinding goa itu diduga menjadi media komunikasi bagi masyarakat yang hidup pada masa tersebut dan dianggap sebagai “komik” paling kuno di dunia
 Visual Storytelling
è Dalam setiap komik selalu mengandung Visual Storytelling, yaitu tampilan gambar pada komik yang disusun menurut alur jalan cerita dari komik itu sendiri, agar pembaca terbantu dalam menangkap makna dari cerita dalam komik tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Scott McCloud (2005) yang mengungkapkan bahwa visual storytelling pada akhirnya memiliki tujuan utama agar pembaca komik dapat mengerti dengan jelas cerita yang disampaikan dan juga mengajak pembaca untuk tetap mengikuti ceritanya.
           
            Visual storytelling pada komik menjadi beberapa rangkaian pengambilan keputusan, yaitu:
1.    Pemilihan Momen è berkaitan dengan bagaimana peralihan dari satu panel kepada panel lainnya.
2.    Pemilihan Frame è Menentukan dari sudut pandang apa gambar ditampilkan dan seberapa besar proporsi tokoh atau objek dengan latar belakangnya.
3.    Pemilihan Image (Citra yg Ditampilkan) è Menentukan bagaimana tokoh, objek, dan suasana tersebut ditampilkan.
4.    Pemilihan Kata
5.    Pemilihan Flow (Alur Panel)

            Pada tahun 1980-an, industri komik Indonesia mulai menurun dari segi kuantitas dan bersamaan dengan itu, komik terjemahan Eropa dan Amerika mulai terbit. Sejak saat itu, posisi industri komik dan para komikus lokal semakin terancam keberadaannya di negerinya sendiri.

            Kemudian tahun 2000-an muncullah usaha dari PT. Elex Media Komputindo, penerbit komik terjemahan dari Jepang, yang berupaya menerbitkan komik hasil kreasi komikus Indonesia. Namun sayangnya, komik yang terbit ternyata membawa pengaruh komik asing, terutama Jepang, yang begitu kuat. Tidak seperti komikus Indonesia tahun 1970-an yang dianggap memiliki karakteristik sendiri, komikus pada periode 1990-an dianggap tidak memiliki identitas karena meniru gaya komik yang populer pada saat itu yakni komik Jepang dan komik Amerika (Darmawan, 2005).

Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa   :
  Komik lokal terancam keberadaannya
  Komik terjemahan mendominasi produksi komik lokal di Indonesia
Komik lokal sekarang mulai terpengaruh karakter dari komik asing terutama komik Amerika, komik Jepang, dan komik Eropa pada saat komik Indonesia tengah mencari jati dirinya.

 

 
 Gambar diatas merupakan contoh modifikasi dari komik Indonesia yang mengalami ‘akulturasi’ dengan identitas dan gaya komik asing, dimana nama “Wayang” dalam komik tersebut tidak mewakili sama sekali dari gambar yang terpampang dalam sampulnya. Karena profil wayang yang dikenal masyarakat Indonesia adalah mewakili lambang keluarga pewayangan dari kisah mahabarata yang terkenal di daerah Jawa. Sedangkan gambar tersebut lebih mirip dengan figur heroik yang banyak terpampang pada tokoh komik-komik asing.

            Komik Indonesia yang terbit pada tahun 2000-an cenderung dipengaruhi komik Jepang namun lebih ekstrim dalam hal personalisasi karya atau lebih subjektif. Efeknya adalah membuat komik Indonesia cenderung memiliki pace lebih panjang namun menyederhanakan cerita karena dibatasi jumlah halaman.

            Adanya pengaruh komik Amerika dan komik Eropa dikarenakan karyanya pernah disukai atau dibaca juga oleh para komikus Indonesia. Pengaruh tersebut terlihat pada kecenderungan komikus Indonesia untuk berusaha memberi kesan ilustrasi yang relatif ekspresif walaupun tidak ada relevansinya dengan cerita. Selain itu, dilihat dari garis besar perkembangan komik Indonesia, dengan diadopsinya gaya komik Jepang, menggambarkan putusnya hubungan antara komik Indonesia tahun 1960-1970-an dengan komik Indonesia kontemporer.

            Karena itu rasanya harus mulai digalakkan kembali kreatifitas anak bangsa dengan ide ide cemerlangnya dalam kaitannya dengan pelestarian kemurnian budaya sendiri, serta bagaimana upaya meningkatkan kualitas hasil kreatifitas itu sendiri. Kalau tidak dimulai dari saat ini, kapan lagi????