Sabtu, 29 September 2012

Analisa Jurnal PSIKODIAGNOSTIK


A.   KECEMBURUAN PADA KAUM HOMOSEKSUAL PRIA (GAY) DI JAKARTA
(Diilhami dari kasus mutilasi Ryan dan observasi terhadap artist management)

       ---à Bahwa telah dilakukan penelitian terhadap responden yang berjumlah 3 orang dengan berjenis kelamin laki laki, memiliki orientasi homoseksual, usia sekitar 20-40 tahun, sudah pernah melakukan hubungan seksual, pendidikan minimal SMA, serta berdomisili dijakarta dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode obervasi (non partisipan) dan wawancara dengan menggunakan pendekatan kualitatif.  Metode wawancara sebagai metode pengumpulan data utama. Dan observasi digunakan sebagai penunjang  dalam berlangsungnya kegiatan wawancara. Ketiga subjek menyadari orientasi seksual nya sejak usia remaja. Subyek 1 menyadari ketertarikannya sesama jenis sejak usia 10 tahun, subyek 2 menyadari ketika 16 tahun, dan subyek 3 menyadari sejak usia 15 tahun. Dari observasi terhadap ketiga subyek, dua subyek menunjukkan notasi bicara terpacu lebih cepat, dan pada subjek ketiga terlihat genggaman tangan menguat/mengepal. Ketika ditanya mengenai sejak kapan berhubungan seksual, 2 subyek merespon lebih cepat dengan menjawab telah melakukan aktivitas seksual dengan sesama jenis sejak usia 9 tahun, sedangkan subyek 1 melakukannya di usia 18-19 tahun, dan subyek 3 di usia 15 – 18 tahun. Dari keseluruhan subjek diketahui bahwa terdapat semua faktor potensial yang menyebabkan mereka menjadi gay seperti terdapat pada model teori. Faktor potensial itu adalah ketidakadaan figur ayah (ayah sebagai tokoh negatif),  terisolasi dari lingkungan sekitar, perasaan rendah diri, jenis permainan saat masih kecil, dan gaya hidup. Dari segi psikiatri, semua subyek merupakan homoseksual ego distonik. Hal ini dikarenakan ketika subyek masih mengalami konflik psikis, belum dapat menerima orientasinya serta masih menutupi orientasinya kepada orang lain. Dari hasil penelitian seputar kecemburuan tersebut terdapat fakta bahwa keseluruhan subyek mengalami hurt (luka), fear and anxiety (takut dan cemas). Sedangkan untuk anger (marah), hanya subyek 2 dan subyek 3 yang mengalaminya. Selanjutnya untuk tipe kecemburuan terbagi 2 (dua) yaitu Reactive jealousy & Suspicious jealousy


B.   JURNAL KOHESIFITAS SUPORTER TIM SEPAK BOLA PERSIJA “Bayu Wicaksono” (Universitas Gunadarma).

---à Kohesivitas adalah bagian yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari sebuah kelompok. Kohesivitas adalah hal yang paling mendasar namun juga yang paling besar pengaruhnya. Adanya kelompok belum tentu memiliki sebuah kohesivitas yang tinggi, namun dengan adanya kohesivitas yang tinggi sangat mudah menciptakan kelompok yang kuat. Hal ini sesuai dengan teori dari Festinger dkk. (dalam Sarwono, 2005) menyatakan bahwa kohesivitas kelompok adalah ketertarikan terhadap kelompok dan anggota kelompok dan dilanjutkan dengan interaksi sosial dan tujuan tujuan pribadi yang menuntut saling ketergantungan. Walgito (2007) menyatakan bahwa kohesivitas kolompok adalah saling tertariknya atau saling senangnya anggota satu dengan yang lain dalam kelompok. Faktor faktor yang menyebabkan Kohesivitas yaitu   :

·         latar belakang kelompok yaitu teman nongkrong (jarak rumah yang berdekatan menyebabkan anggota mudah bertemu)
·         kegiatan kelompok seperti main bola bareng (setiap anggota kelompok memiliki kegiatan sehari hari bersama kelompok seperti main bola bareng dan aktivitas tersebutdapat meningkatkan kekompakan)
·         kebersamaan kelompok seperti proses menumbuhkan keterikatan (pada saat berkumpul, anggota kelompok bercanda gurau dan tertawa bersama sehingga aktifitas ini dapatmeningkatkan keterikatan antara anggota kelompok.

 Persija adalah sebuah klub sepak bola yang terletak di Jakarta. Persija berdiri pada tanggal 28 November 1928 dan memiliki julukan “Macan Kemayoran”. Persija singkatan dari Persatuan Sepak Bola Jakarta adalah sebuah klub sepak bola Persija didirikan dengan cikal bakal bernama “Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ)”. VIJ merupakan salah satu klub yang ikut mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Suporter Persija dikenal dengan sebutah The Jakmania. Ketika dibentuk, dipilihlah figur yang dikenal di mata masyarakat. Gugun Gondrong merupakan sosok yang paling dikenal saat itu dan memimpin The Jakmania pada periode 1999-2000. . Pada awalnya The Jak mania hanya terdiri dari 100 orang, dengan pengurus sebanyak 40 orang.  Dalam kelompok The Jakmania terdapat kelompok kelompok seperti Jak On Air yaitu kelompok yang bekerja sama dengan “Radio Utan Kayu” yang setiap seminggu sekali mendatangkan pemain pemain Persija. Jak Angel yaitu kelompok perempuan yang mendukung tim Persija. Jak Online yaitu kelompok yang mempunyai kegiatan untuk memberikan fasilitas informasi tentang Persija melalui jalur internet.  Jak Scooter yaitu kelompok pengguna kendaraan vespa yang mendukung Persija, dan Jak Adventure adalah kelompok suporter yang mendukung persija saat bertanding di kandang lawan (Wikipedia, 2007). Kelompok kelompok yang ada dalam The Jakmania tidak hanya terbatas dari yang tertulis di atas,  Banyak kelompok kelompok kecil yang tidak tercatat berdasarkan pembagian kelompok tersebut.  Kelompok kelompok kecil ini memiliki aktifitas seperti berangkat bersama sama dari suatu tempat menuju stadion tempat lokasi pertandingan Persija dan pulang bersama sama menuju tempat asal. Kelompok “The Jak Kukusan” merupakan salah satu kelompok kecil yang tidak tercatat berdasarkan pembagian kelompok diatas. Faktor faktor yang menyebabkan kohesivitas kelompok adalah   :
·       Kelangsungan keberadaan kelompok (berlanjut untuk waktu yang lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota.
·        Adanya tradisi, kebiasaan, dan adat.
·       Ada organisasi dalam kelompok.
·       Kesadaran diri kelompok, yaitu setiap anggota tahu siapa saja yang termasuk dalam kelompok, bagaimana caranya ia berfungsi dalam kelompok,bagaimana struktur dalam kelompok, dan sebagainya.
·       Pengetahuan tentang kelompok.
·       Keterikatan (attachment) kepada kelompok.

Dan kohesivitas Suporter Tim Persija terjadi karena   :
·       Setiap anggota kelompok mengenakan identitas yang sama.
·       Setiap anggota kelompok memiliki tujuan dan sasaran yang sama.
·       Setiap anggota kelompok merasakan keberhasilan dan kegagalan yang sama.
·        Setiap anggota kelompok saling berkerjasama dan berkolaborasi.
·       Setiap anggota kelompok memiliki peran keanggotaan.
·       Kelompok mengambil keputusan secara efektif.

KSedangkan ohesivitas individu dalam kelompok kecil dilihat dari:
·       Aktifitas kelompok dalam komunitas (main bola bareng, satu lingkungan, bakti sosial dan nonton bola bareng)
·       aktifitas kelompok kecil (pulang pergi bersama, patungan, pulang dan pergi bersama), proses pengambilan keputusan kelompok (berdiskusi, solusi,pengambilan keputusan)
·       identitas kelompok (warna, tulisan, logo logo, warna, logo,atribut Persija), kohesivitas kelompok di luar lapangan (proses menumbuhkan keterikatan)
·       aktifitas sebelum pertandingan, aktifitas setelah pertandingan, tempat berkumpul,mencari kendaraan, menaiki kendaraan,menyanyikan yel yel, membeli air dan rokok, tegur sapa, menuju tempat parkir, perjalanan pulang, membahas pertandingan).


C.   EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN GOTONG ROYONG (COOPERATIVE LEARNING) UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN SISWA DALAM MENGHADAPI PELAJARAN MATEMATIKA (Suatu studi Eksperimental pada Siswa di SMP 26 Semarang)

---à Penelitian ini dilatar belakangi oleh faktor faktor   :
·       Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap momok bagi sebagian pelajar, termasuk siswa SMP.
·       Anggapan negatif tersebut semakin berkembang dengan adanya kenaikan standar kelulusan, khususnya untuk nilai matematika, yang menyebabkan banyak siswa tidak lulus pada tahun 2004.
·       Salah satu faktor yang dapat berpengaruh buruk terhadap prestasi matematika siswa adalah kecemasan.
·       Berdasarkan hal ini peneliti tertarik untuk melakukan eksperimen untuk mengetahui apakah metode belajar tertentu dapat mengatasi kecemasan dalam belajar matematika.

Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas 2 SMP 26 Semarang yang berjumlah 32 orang yang dibagi menjadi dua kelompok masing masing 16 orang. Pada mereka dilakukan penelitian dengan Metode pembelajaran gotong royong (cooperative learning) didefinisikan sebagai suatu sistem kerja atau belajar kelompok yang tersetruktur yang mencakup saling ketergantungan  positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi personal, keahlian bersama dan evaluasi proses kelompok  (Johnson & Jhonson 1994). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kerangka teoritis dari Stodolsky (1985), yang menyatakan bahwa metode pembelajaran gotong royong (cooperative learning) dapat menurunkan kecemasan siswa terhadap mata pelajaran ilmu pengetahuan dan matematika .Selanjutnya didukung oleh teori dari Okebula (1986) yang menyatakan bahwa kecemasan siswa dapat menurun ketika diciptakan kondisi belajar yang menyenangkan, bebas dari rasa tegang, dan adanya rasa saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan kategori “Kecemasan” yang dimaksud adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (DepKes RI, 1990), atau Kecemasan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan skala kecemasan. Observasi yang dilakukan adalah observasi non partisipan. Pertama tama siswa diberikan pre test yang berupa  skala kecemasan. Kemudian siswa dibagi menjadi dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, pada kelompok eksperimen diberlakukan metode pembelajaran gotong royong, sedangkan kelompok kontrol tidak diberlakukan. Hal ini terjadi selama 4 kali pertemuan. Setelah itu semua siswa diberi post test yang sama berupa skala kecemasan seperti pada subtest awal. Pada metode pembelajaran gotong royong (cooperative learning), siswa duduk dikelompokkan, siswa diberikan tugas yang pengerjaannya secara berkelompok, tempat duduk siswa juga diatur menjadi beberapa kelompok yang saling berhadapan antar anggota kelompok tanpa harus berhadapan kearah meja guru. Hasil observasi memperlihatkan bahwa :
·       Pada awal kelas dimulai belum banyak interaksi yang tercipta.
·       Setelah sudah mendapat instruksi soal, nampak adanya interaksi antar siswa dalam kelompok.
·       Siswa saling berbicara satu sama lain dalam kelompok sambil memegang kertas soal.
·       Siswa saling bertanya kepada teman kelompok.
·       Siswa terlihat melakukan interaksi antar kelompok.
·       Suasana kelas aktif dan riuh ramai.

Hasil akhir menyimpulkan bahwa ada pengaruh pemberian perlakuan berupa Metode Pembelajaran Gotong Royong (Cooperative Learning) terhadap kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika. Ada perbedaan kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan mengalami penurunan skor kecemasan siswa dalam menghadapi pelajaran matematika, sedangkan kelompok kontrol tidak. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang diberikan selama 4 kali pertemuan berupa belajar matematika dengan metode pembelajaran gotong royong dapat menurunkan kecemasan siswa ketika menghadapi pelajaran matematika. Dengan metode pembelajaran gotong royong siswa menjadi lebih rileks dalam menghadapi pelajaran matematika. 




Sabtu, 22 September 2012

Analisis Jurnal Psikodiagnostik


A. REALITAS  CINTA DIMATA REMAJA PEREMPUAN
(Studi Kasus Sindrom Cinta pada Seorang Perempuan Remaja Pasca Film Ada Apa Dengan Cinta?”).

à Bahwa “Film merupakan persona yang menyampaikan realita, yang mampu menjembatani imajinasi dengan kenyataan yang akhirnya menciptakan ulang sebuah makna yang bisa menjadi identitas penontonnya. Termasuk Film remaja dengan judul “Ada Apa Dengan Cinta?” memiliki sasaran penonton yang sudah jelas adalah kaum remaja baik laki laki maupun perempuan, yang mengkisahkan roman percintaan di kalangan remaja pada umumnya. Kesuksesan film tersebut  di pasaran sempat menjadi lambang atau Trend Setter yang mampu mewakili kehidupan remaja di masanya. Hal ini bisa terjadi karena kaum remaja memang masih mengalami kelabilan dalam menentukan karakter dirinya. Secara psikologis, aspek kognitif dalam dirinya memang masih mengalami pancaroba, sebuah masa ketika dirinya masih mencari kepastian akan wujud dan jati diri. Ini membuat remaja menjadi lebih rentan terhadap pengaruh lingkungan, baik yang datang dari keluarga, sekolah, teman sepermainan maupun dari media. Kenyataan ini sejalan dengan “Teori Perkembangan” dari Jean Piaget kematangan otak remaja yg cenderung mengikuti faktor emosi daripada rasio. Kemampuan membentuk konsep tentang identitas diri didasari oleh perkembangan kognitif remaja yg sudah bisa berpikir abstrak. Selanjutnya menurut Erikson remaja membangun “identitas diri”, termasuk peranan yang dimainkan dalam masyarakatnya. Identitas Diri pada remaja terbentuk ketika mereka menyelesaikan isu :
* Pilihan Pekerjaan
* Mengadopsi nilai nilai yang ingin dipraktekkan dalam hidupnya
* Perkembangan identitas seksual yang memuaskan

            Demikian juga saat mereka mendapat pengetahuan atau gambaran dari media, khususnya fim pada bahasan disini, maka remaja mengadopsi nilai nilai yang dirasakan cocok sebagai contoh modeling bagi dirinya dalam penentuan identitas diri. Disini berlaku Teori Kultivasi bahwa terjadi perlibatan proses belajar dan kontruksi dari pandangan mengenai relita sosial yang bergantung pada keadaan pribadi dan pengalaman setiap individu dan juga keanggotaan dalam kelompok (masyarakat), serta adanya proses interaktif antara pesan yang disampaikan dan khalayak yang menerima pesan.
            Denis McQuail menyatakan peranan media massa dalam perkembangan remaja adalah (dalam Rakhmat, 1994:52,72) cermin yang memantulkan citra remaja terhadap remaja itu sendiri dan memiliki fungsi sebagai pembentuk identitas pribadi. Disini jelas tampak bahwa pihak media massa sangat paham akan adanya kesadaran terhadap media pada tiap individu, yang hal ini digunakan sebagai sudut pandang untuk khalayak secara aktif ketika terekspos oleh media dalam rangka menafsirkan arti pesan pesan yang  ditemui (Potter). Karena itu jika remaja tidak mampu melihat media secara kritis, maka akan tampak kecendrungan remaja memaknai apa yang ada di media secara dominan dan menerapkannya sebagai karakter dirinya tanpa menyaring ulang. Dan hal itu umum terjadi pada remaja saat ini ditengah kebingungan identitas yang tengah dihadapinya. Ditambah proporsi orang tua yang umumnya selalu menempatkan diri sebagai pihak otorita belaka tanpa berusaha adanya empati silang balik, kebanyakan hanya menghasilkan pandangan negatif di pihak orang tua dan rasa kebingungan di sisi remaja, yang akhirnya tidak menghasilkan titik temu jika tanpa perantara komunikasi yang bijak diantara keduanya.
B.         MITOS TENTANG KEHAMILAN
(Sebuah Riset di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Nanggroe Aceh Darussalam).

à Bahwa fenomena kehamilan paling banyak terjadi dan mudah ditemui dalam kehidupan sehari hari. Sedangkan mitos yang menyertai proses kehamilan tersebut adalah merupakan pengetahuan turun temurun yang diwariskan dan berkembang sebagai konsep kebudayaan dan tradisi yang berlaku hampir di sebagian besar masyarakat, yang pada akhirnya mampu membentuk pola perilaku yang menetap. Sehingga atas gejala sosial ini sangat mudah dilakukan pengamatan (observasi) atas segala fakta yang ada.
            Kehamilan bagi pihak perempuan merupakan suatu hal yang membanggakan dan menyempurnakan keberadaannya sebagai seorang perempuan pada umumnya. Di samping itu kehamilan ‘menuntut’ secara tidak tertulis pada kaum perempuan untuk mampu menjaga kehamilannya dengan sebaik baiknya, yang terkadang dapat memberikan judgement atau memberikan rasa bersalah jika terjadi malah keadaan sebaliknya. Karena itu selain anjuran medis yang senantiasa diikuti oleh para kaum perempuan yang sedang hamil, berlaku juga mitos mitos seputar masalah kehamilan yang bertujuan sama, yaitu untuk menjaga kesehatan kehamilan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Manuaba yang mengatakan bahwa mitos tentang kehamilan diyakini kebenarannya dalam upaya memelihara kesehatan jiwa ibu hamil. Kepercayaan ini menjadi salah satu usaha dan upaya yang berorientasi pada kebatinan. Bertujuan untuk menjaga keselamatan jiwa ibu hamil dalam mencapai keturunan yang baik secara psikis dan jasmani. Mitos mitos itu ada umumnya berasal dari ilmu warisan para pendahulunya, yang terkadang masih bisa dikategorikan bersifat empiris atau ada juga yang bisa digolongkan pada pemahaman takhyul belaka. Mitos mitos ini bisa timbul karena masyarakat melakukan interaksi yang intens dengan kerabat dan lingkungan sekitarnya, dimana segala bentuk nilai dan kebiasaan yang terjadi kerap membentuk perilaku dan sikap masyarakatnya.
Pada pembahasan analisa jurnal ini, penelitian tentang mitos kehamilan yang dimaksud dilakukan di wilayah Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat Nanggroe Aceh Darussalam. Dan dari penelitian tersebut tujuan yang hendak dicapai adalah ingin menguraikan sikap dan perilaku perempuan selama masa kehamilan, sekaligus masalah budaya yang menyertai sikap dan perilaku perempuan dalam kaitannya dengan usaha menjaga kesehatan kehamilan, baik secara modern maupun kepercayaan terhadap mitos mitos seputar kehamilan yang berlaku dalam masyarakatnya. Pemahaman ini didasarkan atas fakta bahwa setiap orang merupakan bagian dari budaya yang berlaku di lingkungan tempat tinggalnya, karena itu budaya tersebut akan berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan perilaku setiap individu pada segala hal termasuk masalah seputar kehamilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Peuersen yang menyatakan bahwa mitos merupakan sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Mitos memberikan arah kepada kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman untuk kebijaksanaan manusia.
            Dari hasil penelitian tentang mitos kehamilan yang dilakukan di kecamatan Meureubo kabupaten Aceh Barat Nanggroe Aceh Darussalam tersebut, didapat fakta bahwa para perempuan hamil di wilayah Aceh pada umumnya harus menghormati berbagai ketentuan mistis tertentu yang disebut “Pantang”. Mengabaikan ketentuan dalam “Pantang” diyakini dapat berakibat buruk kepada perempuan hamil maupun calon bayinya. Contohnya permpuan hamil tidak boleh duduk diatas tangga (bak ulee reunyeun) karena dapat mempersulit proses kelahiran, perempuan hamil tidak boleh melihat kera karena dikuatirkan anaknya kelak akan mirip kera, atau bila suami keluar rumah pada malam hari maka ia tidak boleh langsung pulang ke rumah melainkan harus singgah sebentar di Meunasah (tempat ibadah semacam surau) agar makhluk Burong Burong (sejenis makhluk yang sering mencelakakan perempuan hamil) tidak ikut masuk ke rumah. Selain itu kepada para perempuan yang sedang hamil diharapkan membaca dan mendengarkan cerita yang dapat membangkitkan idealisme, semangat dan taat terhadap ajaran agama masing masing (Manuaba, 1999). Dari contoh mitos mitos yang berlaku tersebut dapat dipahami bahwa terkadang mitos mitos yang berlaku bisa bersifat masuk akal, dan ada juga yang terkesan hanya berupa takhyul belaka.
Pada umumnya semua mitos dan stereotip  yang berkaitan dengan kehamilan berasal dari narasumber ibu hamil / ibu yang pernah hamil dan hampir semua dari mereka memberikan jawaban yang sama terhadap mitos yang berkembang. Namun pemahaman pengetahuan yang berkembang seputar kehamilan tersebut sebenarnya tidak semua bisa digolongkan sebagai mitos, karena bisa juga dikategorikan sebagai logika medis maupun hal spiritual. Misalnya sebagai contoh   :
* MITOS
---à anjuran memakai tali pinggang atau menyelipkan paku kecil di rambut sebagai penangkal makhluk halus
* LOGIKA MEDIS
---à anjuran bagi perempuan hamil pada usia kandungan 7 bulan untuk sesering mungkin melakukan aktifitas berjalan, menyapu, mengepel, dan melakukan hubungan suami istri agar memudahkan proses melahirkan
* SPIRITUAL
----à anjuran untuk perempuan muslim jika hamil memperbanyak membaca surah Yusuf dan Maryam agar anaknya kelak setampan Yusuf dan secantik Maryam.
Namun umumnya perempuan hamil hanya taat atau percaya pada mitos dan sebagainya saat mengalami kehamilan pertama. Untuk kehamilan kedua dan seterusnya biasanya cenderung berkurang keyakinannya karena sudah tidak ada kekhawatiran yang berlebihan dan merasa bebas karena sudah berpengalaman atas kehamilan pertama. Hal ini berkaitan dengan Power yang dimiliki seorang perempuan sehingga mempunyai justifikasi sendiri untuk melakukan berbagai hal yang dianggapnya nyaman, aman dan baik untuk dirinya.
            Kehamilan bagi kebanyakan kaum perempuan memiliki juga keterkaitan dengan nilai tentang “anak” dalam masyarakat yang antara lain bahwa anak sebagai penerus keturunan, pewaris harta, tumpuan di hari tua, pendo’a saat orang tua sudah meninggal. Disamping itu juga berbagai mitos yang berkembang di masyarakat tidak semuanya diyakini oleh perempuan yang sedang hamil, jadi ada perbedaan antara perempuan hamil yang satu dengan yang lainnya yang disebabkan oleh faktor pengetahuan yang secara umum lebih mendahulukan rasionalitas ketimbang intuitif. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor peranan keluarga terhadap penebalan keyakinan terhadap mitos, umumnya para orang tua bertindak secara otorita memberikan banyak anjuran dan nasehat. Selain itu faktor lingkungan hidup juga berpengaruh terhadap keyakinan pada mitos, dimana masyarakat yang hidup di daerah yang dekat dengan pusat layanan kesehatan umumnya mereka mudah melakukan interaksi dengan berbagai pengetahuan yang bersumber dari kesehatan modern. Meskipun begitu, pengetahuan tradisional tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh masyarakat, alasannya terjalin hubungan yang erat dalam komunitas sosial sehingga kebiasaan yang melingkupi tempat mereka tinggal akan mempengaruhi sikap dan perilakunya.  Misalnya percaya pada tenaga bidan tradisional, yang karena adanya faktor jarak yang dekat serta biaya yang murah maka masyarakat masih mengandalkan jasanya (terutama bagi masyarakat yang berada pada tingkat ekonomi rendah). Namun saat ini sudah ada bidan tradisional yang bekerja sama dengan tenaga medis, seperti di pemukiman pedalaman.
            Kehamilan pada perempuan pastinya berhubungan dengan apa yang disebut sebagai Kesehatan Reproduksi, namun yang dimaksud disini tidak hanya mencakup bidang medis saja melainkan terkait juga dengan masalah sosial, agama dan budaya. Seperti yang tersirat pada Dokumen Kairo (1994) dalam “Kesepakatan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development)” bahwa kesehatan reproduksi bukan hanya ketiadaan gangguan dalam fungsi dan sistem reproduksi. Lebih dari itu berkaitan pula dengan keadaan fisik, mental dan kelaikan sosial secara menyeluruh dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya. Proses kehamilan itu sendiri sebenarnya merupakan suatu kodrat dan hal alami yang akan dihadapi para perempuan dewasa, namun pada faktanya sebenarnya kehamilan itu sendiri terkait dengan kepentingan tertentu yang bersumber dari keluarga, lingkungan rumah tangga atau masyarakat (Browner, 1997). Jadi secara tidak langsung bahwa untuk bisa hamil seorang perempuan tidak selalu atas dasar keinginannya sendiri tetapi ada juga tekanan dari struktur sosialnya (Lubis, 2002); di samping secara psikologis sendiripun para perempuan hamil akan mengalami perubahan kondisi fisik dan emosional secara kompleks karena adanya perubahan hormon dan keharusan adaptasi pola hidup dengan kondisi baru. Hal yang bersifat alami inipun menimbulkan ‘tekanan’ lain bagi perempuan hamil untuk melakukan pengawasan terhadap kehamilannya yang biasanya budaya setempat ikut memegang peran didalamnya.
            Masalah gender juga mengambil peran dalam konflik seputar kehamilan. Perbedaan gender yang ada memiliki kecenderungan melahirkan faham ketidakadilan bagi kaum perempuan yang termanifestasi misalnya dalam pembentukan stereotip, pelabelan negatif, kekerasan dan beban kerja yang dirasa tidak adil. Selain dalam lahan aktifitas yang dibedakan (perempuan dalam lingkungan domestik dan laki laki dalam wilayah publik), budaya patriarkhi juga memperparah keadaan. Contoh dalam kaitannya dengan kehamilan adalah adanya kecenderungan dalam sebuah keluarga untuk selalu mengutamakan laki laki dalam hal apapun termasuk pembagian makanan dan beban kerja. Laki laki didahulukan untuk mengkonsumsi makanan terbaik, padahal perempuan hamil juga pantas didahulukan demi kesehatan kehamilannya; atau perempuan hamil tetap bekerja keras mengurusi semua urusan rumah tangganya sebagai bentuk tanggung jawab peranan, padahal disisi lain membutuhkan istirahat yang cukup dan baik dalam kondisi kehamilannya.
            Terakhir, fakta yang ada menyatakan bahwa perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat menjalankan tiga peran sekaligus, yaitu peran reproduktif (melahirkan anak anak), peran produktif (membantu perekonomian keluarga) dan peran sosial (melakukan sosialisasi dalam komunitasnya). Dari kenyataan ini maka ada hal penting yang menyertai yaitu bahwa pelabelan yang selama ini dilekatkan pada perempuan bahwa perempuan lemah, tidak berdaya, pasif dan sebagainya dapat ditepiskan.


C.         POST TRAUMATIC GROWTH PADA PENDERITA         KANKER PAYUDARA
(Sebuah Jurnal Yang Dibuat Oleh Ade Fitri Rahman dan Erlina Listianti Widuri).

à Bahwa Jurnal dibuat bertujuan untuk mengetahui dinamika Post Traumatic Growth atau “pertumbuhan pasca trauma” menuju perbahan hidup yang positif dan ingin memahami lebih jauh lagi mengenai faktor faktor yang mempengaruhi terbentuknya post traumatic growth pada penderita kanker payudara.
            Dalam penelitian tersebut, deskripsi yang dapat diambil adalah bahwa Post Traumatic Growth atau “pertumbuhan pasca trauma” secara teoritis didefinisikan sebagai pengalaman perubahan positif yang signifikan, yang timbul dari perjuangan atas krisis kehidupan yang besar antara lain : apresiasi peningkatan hidup, pengaturan hidup dengan prioritas baru, rasa kekuatan pribadi meningkat dan spiritual berubah secara meningkat dan positif.
            Spiritualitas dalam konteks ini mengacu pada rasa bersyukur yang lebih besar kepada Sang Pencipta, peningkatan rasa komitmen seseorang kepada tradisi keagamaan, atau pemahaman yang lebih jelas dari keyakinan agama seseorang. Ketika didiagnosis menderita penyakit yang mengancam hidupnya, umumnya individu sering memikirkan kembali makna dan tujuan hidup mereka dan mempelajari kembali prioritas mereka. Jika mereka mampu melewati masa krisis atas perjuangan hidupnya, maka muncul fase Post Traumatic Growth tersebut sebagai ‘lembaran’ baru untuk melanjutkan hidup. Terdapat setidaknya terdapat 4 pertumbuhan pasca trauma atau (Post Traumatic Growth) yang signifikan timbul dari perjuangan individu (khususnya wanita) dalam menghadapi penyakit payudara ini, antara lain: peningkatan spiritualitas, positive improvement in life, proses sosial semakin tinggi, dan relasi sosial semakin baik